InsyaAllah blog ini sebagai perkongsian ilmu bersama...
Selamatkan Palestin dengan tangan-tangan kita berjihad menentang Yahudi laknatullah.. Allahuakbar...!!!!
Sabda Rasulullah s.a.w.,
"Sungguh,jika ka'abah diruntuhkan batu demi batu, itu adalah masih ringan disisi ALLAH...berbanding ditumpahkan darah seorang ummat Islam".
Muslim...
Marilah kita sama2 doakan agar saudara seislam kita di filistin mendapat kemenangan,menegakkan agama Islam...jika berkesempatan..marilah sama2 berjuang...
dan tegakkan Khilafah...
sesungguhnya semua ummat Islam itu bersaudara...
DRAMA HASIL TANGAN ANA...
Sunday, November 1, 2009
at
1:23 AM
| Posted by
abu
Drama : Puisi Terakhir.
Adaptasi : Cerpen Puisi Terakhir ; karya Herry Nurdi.
Babak 1
Watak : Gilang
Mahasiswa-mahsiswa
Wanita tua(ibu)
karyawati
orang ramai
Pentas diterangkn.
Arahan: Pagi itu meski hampir siang, matahari belum panas benar. Awan mendung, seorang pemuda siang itu tampak menyusuri trotoar dan membagi-bagikan bunga mawar. Selembar kertas tipis penuh tulisan untuk siapa saja yang mau menerika mawar. Pemuda itu Gilang namanya. Ia pergi berlalu dari sebuah halte setelah meyakinkan diri tak satupun orang yang terlewat untuk dibagikan sekuntum mawar dan secarik kertas pengumuman. Ada seorang polwan yang menerima bunga dan selebaran lalu meramasnya dibelakang punggung. Gilang hanya tersenyum tipis lalu pergi. Puluhan ribu mahasiswa membanjiri jalan dan mereka bernyanyi “Majuuu tak gentarrr, membeelaaa yang benar…”. Seorang karyawati membagi-bagikan permen dan seorang ibu membagikan-bagikan bungkusan air dalam plastic dan roti.
IBU TUA : Majulah, majulah. Kmai di belakang kalian.(menyalami dan
mencium kening seorang mahasiswa serta menangis).
MAHASISWA 1 : (membalas ciuman itu dengan mencium punggung telapak
tangan ibu tersebut dan menangis).
ORANG RAMAI : Selamat berjuang…selamat berjuang…selamat berjuang…
(sambil melambaikan tangan).
MAHASISWA 1 : (mengusap keningnya kerana masih rasa bekas ciuman tadi).
(Gilang berjalan didepan. Memakai jaket almamater yang diikat pita hitam dipangkal lengan sebelah kanan. Kali ini mahasiswa tak bisa meneruskan lagi perjalanan. Sebaris pasukan bertameng menghadang jalan. Gilang berdiri menantang. Dengan lantang meradang lewat TOA yang bagaikan nak pecah menampung suaranya).
GILANG : Saudara-saudara, kita, adalah rakyat yang menuntut tegaknya
keadilan.
MAHASISWA : Yaaa, yaaa…(gemuruh suara menyambut kata-kata Gilang).
GILANG : Relakah kalian, jika bumi ini dijarah dan hanya hutang yang
Ditinggalkan untuk kita, untuk masa depan…(serak berapi).
MAHASISWA : Tidak…..(barisan mahasiswa maju, barisan tentera merapat dan
menegakkan tamengnya).
GILANG : Bentuk presidium, ganti semua pembesar, adili koruptor dan tolak
semua kedzaliman…
MAHASISWA : (semua mahasiswa berwajah memancarkan semangat seolah-olah
tak kenal mati, dan ketakutan menjadi urusan yang tak difikirkan).
Gusur, gusur turunkan…(lautan mahasiswa bernyanyi. Mereka
terus maju, bergelombang, berteriak, dan saling bakar semangat).
( Ring empat telah lewat. Di depan telah menghadang lebih banyak pasukan. Gilang masih di depan, berteriak-teriak bangkitkan semangat. Tiga orang dengan dua kardus penuh berisi bungkusan air memebelah barisan. Membagi-bagikan air. Setelah itu terdengar teriakan…)
GILANG : Rapatkan barisan…
(lautan manusia itupun serentak bergandingan tangan).
Saudara, kita adalah rakyat, dan mahasiswa yang tak ingin Negara
ini hancur berkeping. Kerana itu kalau kita tak bisa membentuk
presidium, mengusur, dan menurunkan semua yang harus turun,
kita sama saja membiarkan Negara ini hancur.(berdiri diantara
dua barisan. Terus berteriak lewat TOA).
(seorang yang berpangkat letnan menyeruak barisan, melangkah menghampiri Gilang. Sang letnan tersenyum. Gilang menatap dingin dan penuh dendam. Tiga orang mahasiswa menghampiri Gilang.
TEMAN GILANG : Biarkan kami masuk! (bentak seorang teman Gilang).
SANG LETNAN : Kalian adik-adik kami juga, jangan…
GILANG : Bagaimanapun keadilan harus ditegakkan…(memotong garang).
SANG LETNAN : Jangan paksa kami berhadapan dengan kalian. Pulanglah.
Bubarkan. (tersenyum).
(tiba-tiba sebuah botol aqua melayang jatuh atas kepala letnan. Mahasiswa maju. Aparat siaga. Ketegangan menjelma sengketa. Semua panik. Hiruk-pikuk. Tentera menarik pentungan, menembakkan gas air mata dan mengejar mahasiswa. Mahasiswa melawan. Batu-batu melayang. Suara serentetan letusan. Pentungan beradu kepala. Peluru menerjang dan mengkaparkan. Tangan-tangan telanjang melemparkan kembali gas air mata. Kepala-kepala tanpa helm baja sasaran meriah untuk dijajah).
(darah menetes. Ketakutan menjelma desis dan lintang pukang. Pekik geram. Erang kesakitan memenuhi senja menjelang malam. Malam itu, jalanan berubah menjadi ladang batu. Udara masih beraroma mesiu dan gas air mata. Seorang mahasiswa menangis tersedu dibawah temaram lampu. Tubuhnya menggigil ketakutan. Seorang lagi sedang bersandar pada tiang panjang jambatan layang. Tangan kirinya lunglai menggenggam pengeras suara yang sejak siang digengam Gilang).
MAHASISWA 11 : Ahhh, Gilang…dimana Gilang...(bertanya sendirian).
RADIO : Tit…tit…tit.(suara pager nyaring). Rapatkan barisan, pukul
sebelas malam kita maju berbarengan.(pesan dalam radio
panggil terbaca dalam remang).
MAHASISWA 11 : Mana Gilang…mana Gilang…(bertanya sendirian).
RADIO : Siapkan barisan. Jam sebelas kita maju berbarengan.(suara-
suara saling meyakinkan).
(dalam sekejap ratusan mahasiswa berkerumun menjadi ribuan. Maju dan bernyanyi di tengah malam saat udara dipenuhi bau mesiu dan bakaran ban).
TENTERA : Pulang, dan kosongkan jalanan atau kami bertindak tegas pada
kalian. (membentak keras).
(pada saat yang sama, mungkin sebahagian penduduk kota sedang membuai diri dalam mimpi. Sebahagian lain mungkin masih baru memasuki café untuk bersenang. Tapi, pemandangan dibawah jambatan ini begitu mencenkam).
Pentas digelapkan.
Babak 2
Watak: Gilang
Ibu.
Pentas diterangkan.
Arahan: Hari masih pagi. Gilang selepas shalat subuh bersimpuh dan mencium lutut kaki ibunya. Ia pamit pergi untuk berdemonstrasi siang nanti).
GILANG : Ibu…( menatap manik hitam milik ibunya. Tatapan itu mewakili
seribu kata yang ia ingin ucapkan).
IBU : Anakku, kekerasan itu tak pernah menyelesaikan masalah dengan baik.
( berbicara dengan kebijaksanaan berabad umurnya).
GILANG : Tapi bu, kadang keadilan perlu ditegakkan dengan keras.(menunduk).
IBU : Itu bukan keadilan, jika kau tegakkan dengan kekerasan. Itu nafsu.
GILANG : Bukan bu, itu harga diri yang hilang.
IBU : Jangan kau gusar. Timbang dulu, banyak mana manfaat dan korban…
GILANG : Ibu maafkan. Kunanti restumu. Doakan. (menyambar tangan ibunya dan
menciumnya).
IBU : Pergilah, doaku untuk Tuhan selalu padamu. (menahan tangis).
Pentas digelapkan.
Babak 3.
Watak: Ibu.
Mayat Gilang.
Orang ramai.
Mahasiswa 111
Pentas diterangkan.
Arahan: ambulance berhenti di muka rumah Gilang. Sang itu sudah tahu dan tak berkata apa-apa. Tanpa air mata ia menanti dipintu. Seorang mahasiswa turun dari mobil, menghampiri ibu Gilang, mencium tangannya dan menangis sejadi-jadinya. Almamternya berdarah, dan ibu Gilang masih diam tak berkata-kata. Jenazah diturunkan dan sudah terbungkus kain kafan.
IBU : (dengan tenang, sangat tenang bahkan, satu-satu ikatan jenazah dibuka oleh
Ibu Gilang. Mayat itu dingin dan biru. Dada kirinya berlubang , bibir masih
menyimpan sebuah senyum yang belum sempat dilemparkan. Sang ibu mem-
balasnya dengan senyuman. Senyuman paling hambar yang pernah ada di
muka bumi).
(malam seusai pamitan sang ibu memasuki kamar anaknya seorang itu dan menemukan sacarik kertas dengan puisi diatasnya).
Jika aku mati nanti,
Aku minta,
Tak usah kau tuliskan nama di batu nisan,
Tak usah pula kau membuat sebaris kenangan,
Kematianku hanya sebuah peringatan kecil,
Tembok tiran makin tinggi,
Biarlah debu dan malaikat maut saja menemani,
Selebihnya aku tak peduli,
Kawan berjanjilah padaku satu hal, hancurkan tiran.
(dibacakan dengan suara latar Gilang)
Sang ibu menangis sepuas-puasnya…
Tamat.
Pentas digelapkan.
Ditulis oleh: Mohd Fuad Hilmi Zakaria
(abu_jihad)
06.04.08. bil.3/3.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments